Skip to main content

Ga Jelas Alurnya

Kadang gue merindukan saat-saat hidup yang sangat tidak produktif, seperti waktu libur satu bulan Ramadhan, atau peralihan dari SMP ke SMA. Bebas dari beban, tugas, dan yang pasti lebih produktif dalam menulis dan baca banyak novel. Sebenernya sih kalo ditelisik lagi, cita-cita gue itu pengin jadi penulis sekalipun masih dibilang amatiran.

Dalam berbicara, gue mengalami kesulitan ketika menyampaikan apa yang gue maksud, atau lebih tepatnya gue kurang bisa menyampaikan secara runtut dan jelas. Sehingga hal itu buat gue beralih ke zona tulis menulis biar gue bisa mikir dulu baru nulis ketimbang bicara kan yaaa mikir kelamaan malah orang-orang jadi bingung gue mau ngomong apa, ditambah kata-kata yang pengin gue sampein pada belepotan -_-

Menulis pun gue tekuni dengan cara menceritakan kegiatan gue sehari-hari dalam sebuah buku diary hadiah dari nyokap. Sehingga hal itu mulai buat gue candu dan candu. Kegemaran gue dalam menulis diketahui oleh nyokap ketika tak sengaja beliau ngecek ke kamar gue dan menemukan sepucuk surat cinta dengan bau parfume eskulin bergambar princes Aurora yang gue semprot secara brutal saat masih kelas empat SD. Sebenarnya surat cinta itu cuma pengin gue tulis aja, ga berani kasih ke cowo yang waktu itu lagi gue taksir. Alhasil, nyokap jadi lebih ketat dalam mengawasi gue.

Kelas lima SD gue diajak ke toko buku dengan nyokap. Dari situlah gue mulai menyukai novel-novel yang penulisnya menurut gue masih amatiran, karena kebanyakan penulis remaja nulisnya ga bakal jauh dari percintaan. Novel pertama yang gue baca adalah 'Cinta Cewek Pengintai' By R4N13 karena saat gue baca sinopsisnya sangat mirip dengan kepribadian gue.

Makin kesini gue makin suka baca novel romance, dari romance picisan sampe novel vulgar Eka Kurniawan pun gue babat. Sampai pada kelas duabelas semester satu gue berhenti mengkonsumsi novel. Kesibukan sekolah menjadi prioritas dari pada duduk santai, baca novel sambil ngopi. Untuk sekedar baca buku di Gramedia aja udah ga ada waktu lagi. Gue dituntut harus mengerjakan soal-soal biar bisa lulus di PTN favorit. Uang yang gue tabung pun mulai gue alihkan untuk beli buku-buku soal Marthen Kanginan, atau kumpulan soal-soal SBMPTN Lima tahun terakhir. Gue merasa tertekan. Ditambah tugas praktek, tugas perbidang studi, Try Out, pergi jam tujuh pagi, pulang udah ashar aja, kadang pulang juga ampe jam delapan malam, dan gue pengin banget cabut.

Kalo gue liat kakak tingkat gue sebelumnya kelihatan fine fine aja, kok ya gue ngerasa gini, mungkin yaa pulang sekolah masih kaya biasa, jam dua. Kalo gue diposisi mereka juga ga bakal ngeluh capek, letih, lelah apalah apalah. Ahhh program pemerintah.

Jadi balik lagi ke topik menulis.

Kesibukan yang mencekam buat gue ga sempet lagi nulis cerita. Gue ga kebayang gimana kalo udah kuliah ya? Pasti bakal lebih sibuk. Yaahh mau gimana lagi. Bisanya cuma pasrah dan ikuti arus kehidupan. Melakukan kewajiban sesuai pada tempatnya. Melakukan hal yang sudah seharusnya. Dunia sekelebat menyuguhkan segalanya, kadang senang, sedih, bahagia, kecewa tapi jangan lupa, ada alam lain, yang lebih menuntut kita untuk siapkan bekal pada sesuatu yang lebih kekal, lebih abadi, yaitu akhirat.

Keluhan ingin hidup lebih santai hanya buang-buang waktu (kayanya gue juga lagi buang-buang waktu wkwk). Jadi keep enjoy dalam menjalani kesibukan. Oh ya, sesibuk apapun jangan sampe lupa sama Pencipta, biar nanti pas ketemu sama Dia ga ketakutan karena kebanyakan dosa.


Comments

Popular posts from this blog

Temen Ambis + Pinter di Sekolah Gue

Di awal kelas dua belas ini gue sudah ancang-ancang akan memilih perguruan tinggi mana. Sudah juga buat plan nanti gue mau jadi apa setelah lulus kuliah. Tapi who knows? Mungkin saja Allah ngasih jalan lain yang lebih baik lagi. Oke, sebenarnya yang barusan tuh cuma intro doang wkwkw, karena gue ga tau harus ng-intro yang gimana. Say hai atau apalah gitu, rasanya sudah bosan. Jadi gue mau cerita mengenai anak pinter di sekolah gue yang beritanya sudah tersebar sejak gue kelas sepuluh. Tapi emang dasar guenya aja yang kudet, baru cerita sekarang.  Namanya tuh Suci (to the point aja dah), orangnya kecil mungil dan lucu. Seukuran anak SD lah, kurang dari 150 cm, tapi otaknya encer bet anjay. Gue tau dia karena temen kelas gue itu temenan sama dia. Mereka berdua setiap istirahat ketemuan di kantin kaya orang pacaran-_- Oh ya btw Suci itu dari anak IPA 1 dan gue dari IPA 3. Awal kelas sepuluh gue gak terlalu dekat dengan banyak orang, tapi memang gue sering liat temen gue (read: cewe)

Lobang Kakus Sekolah

Postingan ini terinspirasi dari cerita pendek karangan Eka Kurniawan yang judulnya Corat-coret di Toilet. Salah satu cerpen favorit gue untuk abad ke-duapuluhsatu ini. Cerpen itu menceritakan tentang  toilet di sebuah kampus dengan segala coretan-coretan ala-ala anak revolusi gitu. Hingga gue tersadar pengin juga nulis dengan objek toilet sekolah gue -_- lol. Bagi yang belum baca cerpennya, buruan dah beli, karena bukunya dijamin keren! Oke, mari kita mulai. Toilet , Kakus, Kloset atau WC (bahasa Inggris: water closet ) adalah perlengkapan rumah yang kegunaan utamanya sebagai tempat pembuangan kotoran , yaitu air seni dan feses . Kalo disekolah gue dibagi jadi dua; toilet cowo dan toilet cewe. Jika keduanya tak dipisah, akan banyak terjadi kenyelenehan yang hakiki, wkwkwk. Sht, forget it! Baiklah, setelah tau apa itu toilet, selanjutnya gue bakal ceritain toilet cewe di sekolah gue. Untuk toilet cowo gue skip aja dah, ga kuat gue kalo mau ceritainnya, dan juga gue ga tau tuh

Lanjut S2 kan, nak?

Tulisan ini saya dedikasikan untuk diri saya sendiri karena sudah mau berjuang sampai di titik ini. Untuk melanjutkan studi S2 itu bukanlah keputusan yang bisa saya ambil dengan mudah. Banyak sekali pertimbangan dari berbagai pihak, terutama orang tua dan pembimbing skripsi saya, Bunda (semoga beliau tetap sehat walafiat) Cerita mengerikan ini berawal dari percakapan saya dan mama saat saya masih sibuk-sibuknya KKN di kota Padang. Beliau berniat ingin menguliahkan saya sampai saya tamat S2. Terlebih papa juga sangat mendukung keinginan mama. Well, saat itu saya masih semester 6 dan belum terpikir sampai ke sana karna yang saya pikirkan saat itu adalah   "Bagaimana caranya saya lulus S1 sedangkan pembimbing saja belum dapat". Saya katakan ke orangtua kalau saya tidak ingin melanjutkan S2 penginnya kerja saja. Tapi terlihat dari ujung telepon sana raut wajah mereka agak sedikit kecewa mendengar jawaban saya yang spontan itu. Lantas saya balik katakan  "Indah tamatkan dulu